Salah satu agenda terpenting pembangunan bangsa kita adalah pemberantasan korupsi. Sejauh ini, walaupun sudah banyak tindakan penindakan, korupsi tetap merajalela. Tampaknya, ini akibat strategi pemberantasan korupsi yang masih kerap berganti. Padahal, bangsa ini bisa memetik inspirasi terkait pemberantasan korupsi dari strategi permainan sepak bola.
Empat strategi
Sepak bola memiliki setidaknya empat strategi utama. Pertama, kick and rush. Menurut strategi khas Inggris ini, pemain mengumpan bola panjang langsung dari belakang ke depan untuk segera disambar dan dilesakkan pemain depan ke jala lawan. Alhasil, proses membangun serangan bersifat acak dan lebih banyak mengandalkan keberuntungan.
Dari segi pemberantasan korupsi, strategi ini terjadi jika penegak hukum tebang pilih dengan mengusut kasus apa saja yang ada di depan mata tanpa melihat besar-kecilnya kasus. Akibatnya, kerap kasus kecil saja yang tergarap, sementara kasus kakap tidak banyak tersentuh. Singkat kata, kick and rush adalah strategi lawas yang mulai ditinggalkan, termasuk oleh Inggris sendiri. Jadi, mencangkokkan strategi ini ke dalam pemberantasan korupsi akan berujung kegagalan.
Kedua, catenaccio. Gaya gerendel ala Italia ini bermain total defensif dan menutup rapat barisan pertahanannya hingga tak bisa dimasuki penyerang lawan. Segala cara kasar pun halal. Mulai dari menyikut, mencaci-maki pemain lawan sebagai teror mental hingga menjegal. Tujuannya cuma satu: berusaha tidak kebobolan sambil menunggu celah melancarkan serangan balik. Kalaupun celah itu tidak ada, tim sudah puas bermain imbang atau menantikan kesempatan menang di adu penalti.
Di ranah pemberantasan korupsi, wujud catenaccio adalah kondisi saling mengunci stakeholders penegakan hukum. Sebab, setiap pihak, baik kawan maupun lawan, memiliki kartu truf masing-masing. Akibatnya, terjadilah kondisi stalemate (mandek) dalam pemberantasan korupsi.
Ketiga, total football ala Belanda. Di sini, semua pemain harus siap menjadi penyerang yang haus gol di depan gawang lawan. Bahkan, semua pemain juga harus mampu turun bertahan. Intinya, semua pemain harus selalu bergerak sehingga mereka dituntut sebagai pemain serbabisa, kreatif, energik, dinamis, dan tidak berego sempit.
Versi lebih kontemporer dari total football saat ini adalah gegenpressing yang diracik oleh mantan pelatih Liverpool, Jurgen Klopp, dengan mengkombinasikan pendekatan total football dan ball possession-winning dari coach Arrigo Sachi saat melatih AC Milan (“What is Gegenpressing?”, soccercoachingpro.com, diakses pada 25 Maret 2025). Berbekal strategi ini, Klopp sukses membawa Dortmund dan Liverpool menjuarai liga di masing-masing negara setelah puasa gelar lama.
Jika dipetakan ke dalam strategi pemberantasan korupsi, penerapan total football mengharuskan para aparat penegak hukum bekerja tanpa kenal lelah, melakukan koordinasi lintas-departemen secara efektif, dan berkomitmen tinggi haus prestasi.
Namun, strategi ini punya satu kelemahan. Yaitu, jika para pemain kunci kehabisan tenaga di tengah jalan akibat satu dan lain hal, karena terus dijegal misalnya, ritme permainan akan tersendat. Ini terbukti pada kinerja Kejaksaan Agung selama 55 hari kepemimpinan Sudjono. Kala itu, Sudjono C. Atmonegoro, bertandem dengan Jaksa Agung Pidana Khusus Anton Sujata (Tjipta Lesmana, Dari Soekarno sampai SBY, 2009) bersemangat menjalankan total football hingga berkomitmen menyidik perkara Soeharto dan belasan kasus kakap lainnya. Sayang, Sudjono kemudian dicopot Presiden Habibie dan digantikan oleh Andi Ghalib. Rusaklah irama total football pemberantasan korupsi Kejaksaan Agung kala itu.
Keempat, tiki-taka. Inilah strategi sepakbola yang lekat dengan Barcelona besutan Pep Guardiola, pelatih Manchester City saat ini. Berdasarkan strategi ini, bola dimainkan dari belakang dengan umpan-umpan pendek taktis oleh para pemain hingga mencapai lini depan untuk membuahkan gol. Strategi ini sangat menakutkan bagi lawan, tapi tetap tidak sempurna. Sebab, irama tiki-taka gampang dirusak oleh permainan brutal pihak lawan. Kelemahan inilah yang disasar jitu oleh Real Madrid arahan Jose Mourinho di final Copa del Rey 2011 ketika menjalankan permainan kasar untuk merusak konsentrasi pemain Barcelona. Alhasil, Real Madrid menang 1 — 0 sekaligus membuyarkan impian Barcelona meraih sextuple (enam gelar) keduanya di tahun itu.