Sebelum menuliskan isi pikiran, saya ingin mengucapkan selamat kepada Timnas Indonesia, pelatih Patrick Kluivert dan asistennya, Alex Pastoor, serta seluruh tim yang telah berusaha keras memenangkan laga putaran ketiga kontra Bahrain pada kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, kemarin. 1 – 0 untuk Indonesia.
Kemenangan ini berhasil dikantongi lewat tendangan Ole Romeny di menit ke-24 usai memanfaatkan umpan Marselino Ferdinan. Gol ini menjadi satu-satunya yang berhasil dicetak sepanjang laga berlangsung.
Catatan si buta bola usai dukung Timnas Indonesia
Sejujurnya, saya tidak terlalu mengikuti perkembangan dunia sepak bola dimanapun, termasuk Indonesia. Sekelebat saja. Ya, saya tahu di muka Bumi ini ada Cristiano Ronaldo, ya saya tahu ada Lionel Messi, di Indonesia sendiri, saya hanya sekedar tahu bahwa pelatih Timnas berasal dari Korea Selatan, Shin Tae-yong.
Lalu siapa saja pemainnya? Berasal dari club mana mereka? Apa saja prestasi yang telah berhasil diukir selama kiprah mereka di sepak bola? Saya buta akan itu semua. Saya bahkan baru tahu bahwa tim nasional sepak bola itu ternyata ada rankingnya di FIFA, ya?! Dan kemenangan kontra Bahrain kemarin, berhasil mengangkat posisi Timnas Indonesia dari peringkat 130 ke 123 dunia. Sekali lagi, selamat!
Lalu berita soal Indonesia VS Bahrain mencuat. Di kolom komentar, banyak netizen yang menuliskan soal menolak lupa 90 + 6 = 99. Kemudian saya coba cari tahu dan ternyata ikut kepancing sebel karena hal tersebut. Hahaha.
Inilah yang jadi alasan kenapa kemudian saya cukup bersemangat untuk berburu tiket laga yang berlangsung di GBK itu. Sayangnya, ketika saya baru memasuki ‘dunia’ yang akan terjadi di tanggal 25 Maret, tiket sudah sold out.
Saya pikir itu baik buat saya yang saat itu nekad mau pesen tiket untuk diri sendiri. Di antara riuh penonton yang sangat membludak, jika terjadi kericuhan, mungkin saya akan kebingungan menyelamatkan diri. Apalagi dengan latar belakang 90 + 6 = 99 yang bikin marah masyarakat Indonesia.
Jadilah saya mengikuti perkembangannya lewat siaran live yang ditayangkan secara resmi oleh salah satu stasiun televisi.
Sebentar, meski saya mungkin terbilang “anak bawang” sebagai penikmat sepak bola – Sengaja pakai istilah penikmat, bukan fans. Karena sebetulnya saya cuma menikmati permainan ini karena digawangi oleh negara sendiri – saya tidak mau disebut-sebut FOMO (Fear of Missing Out). Penikmat yang ikut-ikutan, sok tahu, sok paling paham yang ternyata salah pula, menyerang ketika kalah, berbangga hati ketika menang.