Keputusan Ketua Umum PSSI Erick Thohir mengganti Shin Tae-yong (STY) dengan Patrick Kluivert di tengah kualifikasi Piala Dunia 2026 menjadi polemik besar di kalangan pecinta sepak bola Indonesia. Bukan soal siapa yang menggantikan STY, tapi lebih pada waktu dan alasan di balik keputusan tersebut, yang tampak terburu-buru dan tidak selaras dengan realitas sepak bola Indonesia.
Sepak Bola Indonesia: Masih Berproses, Bukan Negara Mapan
Indonesia bukan negara yang sudah mapan dalam sepak bola seperti Jepang, Korea Selatan, atau negara-negara Eropa. Indonesia adalah negara yang sedang berproses, masih dalam tahap membangun fondasi yang kuat, baik dari segi sistem pembinaan, kompetisi, maupun mentalitas pemain dan pelatihnya.
Memang benar, Indonesia memiliki fanatisme sepak bola yang luar biasa, mungkin bahkan di atas rata-rata negara maju. Tapi fanatisme tidak cukup jika sistem dan pembinaan belum mendekati standar negara-negara yang sudah berkembang.
Erick Thohir Punya Keunggulan, Tapi Juga Harus Belajar
Tak bisa disangkal, Erick Thohir membawa banyak perubahan positif di PSSI.
Kemampuan melobi pemain diaspora untuk memperkuat Timnas adalah langkah cerdas yang patut diapresiasi.
Berbagai kebijakan pembenahan kompetisi dalam negeri juga menunjukkan keseriusan dalam membangun fondasi sepak bola Indonesia.
Namun, puncak dari semua perbaikan itu menjadi anti-klimaks saat keputusan mengganti Shin Tae-yong dilakukan di tengah kompetisi.
Pergantian Pelatih yang Tergesa-gesa dan Tidak Logis
Shin Tae-yong membangun Timnas dari nol, dengan berbagai keterbatasan di awal kepemimpinannya. Dia butuh waktu bertahun-tahun untuk membentuk tim yang solid, dengan dukungan penuh dari PSSI. Kini, ketika hasil mulai terlihat, dia justru dicopot di saat euforia kemenangan atas Arab Saudi masih tinggi.