Puasa dan Profesionalisme: Kontroversi di Dunia Sepakbola
Puasa adalah hak pribadi untuk seluruh umat Islam. Seperti juga surga, itu hak pribadi, mau menjadi penghuninya boleh, menolak menjadi penduduknya, juga boleh. Banyak yang berpendapat bahwa puasa dapat meningkatkan etos kerja dan produktivitas, namun perlu syarat tertentu seperti makanan, waktu, dan pola istirahat yang baik.
Pemain sepakbola profesional adalah mereka yang menjadikan sepakbola sebagai mata pencaharian, sebagai profesi yang menopang hidup mereka dan keluarga. Dalam aktivitasnya, pesepakbola tentu termasuk pekerja keras yang membutuhkan tenaga dan keringat yang tidak sedikit. Walaupun kaya, dalam hal kerja keras dan konsentrasi, mereka setara dengan para kuli pelabuhan, tukang becak, tukang bangunan, buruh tani, pekerja proyek jalan raya, pekerja tambang, masinis, sopir, dan lain-lain.
Dalam sepakbola, pelatih dan pemain termasuk dalam kategori profesional. Artinya, mereka harus serius dan benar-benar berkomitmen dalam pekerjaannya, tidak boleh sekehendaknya di luar tanggung jawab tersebut. Bayaran mereka tentu bukan hanya jutaan, tetapi bisa mencapai miliaran. Namun demikian, terutama bagi para pemain yang turun ke lapangan, mereka adalah pekerja keras yang dituntut tampil maksimal.
Dalam Islam, pekerja keras diperbolehkan membatalkan puasa jika merasa tidak kuat karena beban kerja. Lantas, mengapa hal ini pernah membuat Jose Mourinho sewot? Tahun 2009, saat cuaca panas, Inter Milan ditahan imbang 1-1 oleh Bari di Serie A, dan Mourinho menganggap puasa menjadi penyebab menurunnya performa Sulley Muntari. Sepintas, ini seperti pernyataan bahwa Muntari tidak profesional karena lebih mementingkan ibadah, hak pribadi, dibandingkan tanggung jawab profesionalnya.
Pertanyaannya, mengapa harus puasa? Mengapa harus mengorbankan institusi yang telah membayarnya sangat banyak? Mengapa tidak menggantinya di lain waktu, di luar bulan Ramadhan? Bukankah ada celah untuk tetap menjaga profesionalisme tanpa harus mengorbankan ibadah? Tentu ada banyak jawaban, baik yang pro maupun yang kontra, sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan masing-masing.
Solusinya adalah:
- Pendekatan Fleksibel: Klub dan pemain bisa berdiskusi mencari solusi terbaik, misalnya menyesuaikan jadwal latihan dan pertandingan agar tidak terlalu membebani pemain yang berpuasa.
- Manajemen Nutrisi dan Pemulihan: Pemain Muslim yang berpuasa harus mendapatkan dukungan ahli gizi dan pelatih kebugaran agar tetap bisa menjalankan ibadah tanpa mengurangi performanya.
- Kesadaran dan Toleransi: Pelatih dan rekan satu tim perlu memahami pentingnya puasa bagi pemain Muslim. Sebaliknya, pemain yang berpuasa juga harus memiliki kesadaran profesional untuk tetap menjaga performanya.
- Pengaturan Rotasi Pemain: Klub bisa mempertimbangkan rotasi pemain agar mereka yang berpuasa tidak terlalu terbebani di pertandingan-pertandingan tertentu.
- Alternatif Fidyah atau Qadha: Jika seorang pemain merasa puasa akan sangat mengganggu performanya, ia bisa menggantinya di lain waktu atau membayar fidyah sesuai ketentuan agama.
Kesimpulan: Puasa bagi pesepakbola profesional adalah persoalan yang kompleks karena melibatkan aspek agama, profesionalisme, dan performa fisik. Tidak ada jawaban tunggal yang benar atau salah. Pemain yang ingin berpuasa harus memahami kebutuhan fisiknya dan mencari strategi agar tetap bisa tampil prima. Di sisi lain, klub dan pelatih juga perlu memahami dan menghargai keyakinan pemain. Dengan komunikasi yang baik, manajemen nutrisi yang tepat, dan fleksibilitas dalam pengaturan jadwal, keseimbangan antara ibadah dan profesionalisme dapat dicapai tanpa mengorbankan salah satu pihak.
Semoga bermanfaat, Toto Endargo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI