Pelajaran Sabar dari Mesi, Leverkusen & PSIM Yogyakarta
“Sebelum sisa umurku habis, tak kan pernah aku menyerah. Kutetap bermimpi dan bermimpi. Sampai indah pada waktunya,” demikian penggalan lirik lagu dangdut yang dibawakan Dewi Persik yang berjudul Indah Pada Waktunya.
Di bagian awal terlantun penggalan bait-bait kisah perjuangan yang begitu haru, “Aku memang belum beruntung, gagal dan selalu gagal lagi”, “Ingin kuteriak, ingin kumenangis, tapi air mata sudah tiada lagi”.”Walau lelah hatiku tak jan aku mengeluh, biarlah hanya Tuhan yang tahu”.
Itulah bait-demi bait kisah perjuangan yang terlantun hingga mencapai. Indah pada Waktunya atas jerih upaya yang tiada lelah..
Perjalanan PSIM Yogykarta merengkuh titel juara Divisi Utama 2025 ini adalah perjuangan sungguh panjang yang memeras suka duka hingga indah pada waktunya.
Antara Mesi, Leverkusen dan PSIM Yogyakrta. Mereka punya kisah perjuangan hampir mirip dalam suka duka meraih mimpi di kala senja usia. Tidak sekedar angan dan mimpi tapi harus diwujudkan secara tanyata sebagai bagian dari tanggung jawab moral kepada fans yang setia membersamainya.
Mungkin terlalu hiperbolis membandigkan ketiganya, tapi begitulah adanya. Ketiganya punya suka duka yang hampir serupa dalam perjalanan menuju indah pada waktunya. Sama-sama menggapai impian kala usia sudah tak lagi muda. Bedanya ketiganya berada dalam atmosfer kasta karier dan kiprah dunia kompetisi yang kontras.
Karier sepakbolanya Lionel Mesi memiliki suka duka mendalam dalam perjalanan menujju puncak prestasi bersama negaranya. Manis di klubnya, Barcelona tapi selau berakhir pahit kala membela Timnas Argentina. Piala Dunia 2006,2014 dan 2018 adalah edisi-edisi perhelatan akbar yang dilaluinya dengan pahit sebelum akhirnya memberi gelar juara di Qatar, 2022 lalu. Belum lagi kegagalan di beberapa edisi Copa Amerika, sebelum akhirnya berhasil dua kali juara di Copa Amerika 2021 dan 2024.
Tekanan hebat selepas kegagalan Argentina di final Copa Amerika 2016 sempat membuatnya ingin pensiun dari Timnas. Untungnya La Pulga bisa tegar sehingga tetap berani melangkah hingga semuanya terasa manis di penghujung karier sepakbolanya. Dua titel juara Copa Amerika plus satu capaian Piala Dunia jelas pencapaian fantastis di usianya yang kini sudah 37 tahun. Takaran usia yang sudah terbilang tua bagi pemain bola.
Bayern Leverkusen, juga punya cerita ujian kesabaran dalam perjalanan kompetisi Bundesliga. Bagaimana tim itu harus menunggu 120 tahun untuk meraih juara Liga Jerman tahun lalu. Gagal dan gagal lagi, itulah yang kerap dialami Die Werksheff dalam setiap kompetisi yang dllakoni. Selalu nir gelar menyisakan rasa kecewa di akhir kompetisi. Saking getolnya tak pernah dapat juara, fans klub itu mengejeknya dengan sebutan Bayern Neverkusen, atau Bayern yang Selalu Gagal.
Usaha tak pernah menghianati hasil, dengan mental tegar Bayern Leverkusen tetap meenjaga eksis. Hasilnya tahun lalu, dengan skuad yang tidak meyakinkan justru meraih juara Bundesliga. Di bawah asuhan pelatih muda, Xabi Alonso, Leverkusen menjadii penguasa Liga Jerman. Pencapaian paling fantastis sejak klub itu berdiri 1904 silam.
Sebuah usia yang sangat senja baru bisa merasakan indahnya juara liga.
Dari Tanah Air di 2025 ini ada PSIM Yogyakarta yang merasakan banyak lika-liku dalam perjalananannya menapaki kompetisi sepakbola Indonesia. Butuh waktu 18 tahun bagi PSIM untuk bisa kembali ke kompetisi level paling tinggi Indonesia.