Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain total dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /www/indo/38.181.62.195/wp-includes/functions.php on line 6121
Meskipun Kalah, Madrid Harus Minta Maaf – mahjong ways

Meskipun Kalah, Madrid Harus Minta Maaf

Real Madrid bukan klub sepak bola. Ia adalah ilusi. Sebuah bangunan megah yang didirikan di atas reruntuhan keadilan, yang tiap pialanya memantulkan cermin dari tipu daya dan privilese. Mereka dibenci bukan karena mereka menang, tapi karena mereka mempermalukan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh sepak bola. Mereka bukan raja di lapangan—mereka hanya perampok yang berjubah kerajaan.

Sejak masa kelam kediktatoran Franco, Madrid menjelma menjadi simbol kekuasaan yang angkuh. Mereka dilindungi oleh tangan-tangan tak terlihat, diberi jalan yang mulus ketika yang lain harus jatuh bangun dalam darah dan peluh. Sementara klub-klub lain membangun dari bawah, Madrid memetik dari puncak. Mereka tidak menumbuhkan, mereka mencabut. Mereka tidak membesarkan, mereka mengklaim.

Dan dari semua kebohongan itu, lahirlah tragedi paling menyedihkan: Jude Bellingham. Anak muda jujur yang datang dengan semangat, dengan cinta pada permainan, kini dipaksa menari dalam sandiwara yang ia sendiri tak mengerti. Di Dortmund, ia adalah pemuda penuh harapan. Di Madrid, ia dijadikan poster boy palsu. Ia tidak tumbuh, ia dipoles. Ia tidak dimuliakan, ia dimanfaatkan. Dan seperti bunga yang dipetik terlalu dini, pesonanya perlahan layu di balik panggung yang terlalu silau.

Bellingham kini tidak lagi dikenal karena ketulusan. Ia dikenal karena baju putih Madrid. Ia tidak lagi dirayakan karena kerja keras, tapi karena sorotan yang diberikan sistem padanya. Ia bukan pemain yang berubah—tapi dunia telah memaksanya beradaptasi dalam kebohongan. Dan para penonton mulai menjauh, bukan karena benci, tapi karena kecewa. Karena mereka tahu, yang berdiri di lapangan itu bukan lagi anak baik dari Inggris, tapi simbol dari sistem yang menjebaknya.

Bandingkan dengan Barcelona. Klub yang jatuh dan bangkit tanpa bantuan. Klub yang dibangun oleh filosofi, bukan uang. Di La Masia, anak-anak bukan diajari menang—mereka diajari berpikir, merasa, dan mencinta sepak bola. Di Barcelona, kamu boleh kalah asal kamu jujur. Di sana, sepak bola adalah bahasa hati, bukan neraca laba rugi. Barcelona tahu bagaimana caranya membesarkan manusia, bukan sekadar memproduksi pemain.

Lihat bagaimana Barcelona melahirkan Messi, Xavi, Iniesta—bukan dari transfer, tapi dari tanah yang mereka garap sendiri. Mereka tidak membeli bintang, mereka menciptakannya. Dan ketika mereka menang, dunia ikut tersenyum. Karena kemenangan mereka adalah hasil dari proses, bukan privilese. Karena setiap trofi mereka punya cerita, bukan sekadar angka di lemari.

Real Madrid harus minta maaf. Pada sepak bola, pada keadilan, dan pada Bellingham. Karena tak ada kemenangan yang layak jika harus mengorbankan jiwa seorang anak muda yang tulus. Sepak bola bukan soal jumlah gelar. Sepak bola adalah soal siapa yang masih bisa memeluk mimpi tanpa harus menjual hati.

Dan selama Real Madrid terus berjalan dengan kebanggaan palsunya, biarlah Barcelona tetap berdiri sebagai pengingat—bahwa di dunia yang penuh tipu daya, masih ada tempat di mana kejujuran tidak pernah menjadi musuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




Mohon tunggu…

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya

Beri Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi
tanggung jawab komentator
seperti diatur dalam UU ITE


Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *