Akhir-akhir ini publik sepak bola dibuat bertanya-tanya oleh PSSI yang dikomandoi Erick Thohir yang juga juga merangkap sebagai Menteri BUMN dan Pengawas Danantara. Apa yang terjadi?
Semua kita tahu, bahwa Shin Tae-Yong (STY) ‘tiba-tiba’ saja dicopot dari jabatan menyusul kegagalannya pada Kejuaraan AFF 2024. Tanpa bermaksud membela STY, dikabarkan persiapan Coach STY dalam menyiapkan Team memang dari awal sudah penuh dengan kendala, antara lain bahwa beberapa club tidak mau melepaskan pemain, dengan berbagai dalih. Sehingga pemain yang dibawa masuk kategori a la kadarnya. Bukan pemain terbaik yang ada dan bebas dipilih oleh STY.
Lalu disebarkan info bahwa memang Team yang diturunkan adalah ‘Team Kedua’, karena PSSI sedang melakukan peremajaan. Tetapi ketika Tim ini gagal total, cost-nya adalah pemecatan STY, yang diakui banyak pihak telah membawa perubahan pada sepak bola Indonesia. Setidaknya memperbaiki ranking Indonesia di  tingkat dunia, dari 173 menjadi 130an.
Pasca pemecatan STY, rupanya Erick Thohir sudah menyiapkan pengganti, yakni Patrick Kluivert yang pernah jadi bintang pemain nasional Belanda, dan juga bermain di beberapa klub klas dunia seperti Ajax dan Barcelona. Publik menyambut penunjukan ini dengan gegap gempita dan penuh harap. Walau — berdasarkan catatan yang ada — prestasi pelatihan Kluivert masih jauh dari kejayaannya sebagai pemain. Artinya, prestasi kepelatihan Kluivert belum terbukti dan belum teruji. Tapi toh layar sudah terkembang, pertandingan sisa kualifikasi Pra-Piala Dunia untuk melawan Australia sudah di depan mata, sehingga suka tidak suka, mau tidak mau publik ‘dipaksa’ menerima apa yang diputuskan Erick Thohir.
Memperkuat pola atau strategi yang dipilih, lalu dengan serba amat cepat, lagi-lagi dilakukan proses naturalisasi pemain asing yang berdarah Indonesia. Maka dalam waktu yang amat sangat singkat, masuklah 3 pamain baru. Joey Pelupessy, Dean James dan Emil Audero Mulyadi resmi menjadi pemain Timnas Indonesia.
Sesungguhnya pilihan strategi yang diterapkan Erick Thohir, sangat mirip dengan apa yang dilakukan Bandung Bondowoso yang ditantang untuk membangun Kompleks Candi Prambanan dalam satu malam. Merasa sebagai seseorang yang hebat dan Sakti Mandraguna, Bandung Bondowoso menerima tantangan Rorojongrang. Bagaimana hasilnya?
Seperti yang kita semua tahu dari legenda Candi Prambanan, bahwa akhirnya Bandung Bondowoso gagal total. Cerita dan strategi yang menyiratkan semua serba instan dan buru-buru, seperti yang dilakukan Bandung Bondowoso — dalam banyak kasus — justru berujung dengan kegagalan. Nah, bagaimana dengan PSSI?
Kita lihat saja dalam 2 — 3 pekan ini. Semuanya akan terang benderang. Sejarah akan berulang, dan — maaf — hanya orang-orang yang bodoh dan sombong yang tidak mau belajar dari sejarah…
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI